Dalam sebuah mejelisnya bersama Abu Dzar, Rasulullah pernah memberi nasehat berikut : “Wahai Abu Dzar, hindari dari perlakuan ghibah (menggunjing) karena dosanya lebih berat dari pada zina”.
“Ya Rasulullah apa itu ghibah?”
“Ghibah yaitu menyebut-nyebut saudaramu dengan yang tidak disukai.”
“Ya Rasulullah walaupun sesuatu itu ada pada dirinya”
“Ya apabila kau sebut-sebut aibnya, maka kau telah menggunjingnya; namun bila kau sebut aib yang tidak ada pada dirinya maka kau telah memfitnahnya.”
Ghibah atau menceritakan aib orang lain zaman sekarang bukan dianggap salah bahkan sudah menjadi tradisi dalam masyarakat kita. Media memberikan dukungan sepenuhnya, lihatlah siaran TV, acara pergunjingan mendapat respon yang bagus dari masyarakat itulah sebabnya kenapa acara-cara yang membongkar kesalahan orang lain tetap eksis dan semakin lama acara sejenis semakin beragam.
Mulai dari masyarakat kecil di warung kopi sampai dengan tingkat elit politik menjadikan pergunjingan menjadi suatu hal yang biasa, menjadi sarapan pagi yang apabila ditinggalkan rasanya ada yang kurang.
Padahal Rasulullah mengingatkan kita betapa buruk dan besarnya dosa dari menggunjing sehingga dosanya lebih besar dari berbuat zina. Ketika Aisyah menyampaikan perihal Sya’iyyah, kepada Nabi bahwa Sya’iyah itu orang yang pendek, begini dan begitu. Nabi menjawab, “Wahai Aisyah kau telah mengucapkan kata-kata apabila dicampurkan air laut maka kata itu akan mengubahnya”.
Muhammad Yusuf Al-Qardawi, meriwayatkan sebuah kisah yang terjadi pda diri Khalifah Umar Bin Khattab ra..
Pada suatu malam, ketika Umar sedang berjalan bersama Abdullah bin Mas’ud memeriksa keadaaan di sekeliling kota Madinah, tiba-tiba mata memandang jauh suatu cahaya yang menerangi rumah, Umar menguntit cahaya itu sehingga ia masuk ke dalam rumah penghuninya. Astagfirullah, di rumah itu ada seorang wanita tua yang sedang minum arak dan menari-nari dengan budak perempuannya, Umar masuk dan menghardik perempuan tua itu, “Wahai polan tidak pernah kusaksikan sebuah pemandangan yang lebih buruk dari ini, sekarang tua Bangka yang sudah usia lanjut tetapi meminum arak dan menari-nari”.
Tuan rumah menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, apa yang kau sampaikan adalah lebih buruk dari apa yang kau saksikan, engkau telah memata-matai pribadi orang, padahal Allah telah melarangnya dan engkau telah masuk rumahku tanpa seizinku”.
Umar membenarkannya. Dia keluar dri rumah itu dengan amat menyesal atau perbuatan yang dilakukannya. Katanya, “Sungguh telah celakalah Umar apabila Allah tidak mengampuninya.”
Orangtua itu merasa malu kepada Umar karena kepergok melakukan dosa. Dia khawatir akan dihukum atau paling tidak akan mengumumkan di depan umum. Oleh karena itu ia lama sekali tidak hadir dalam majlis Umar. Apakah Umar termasuk orang yang suka ber-ghibah?”
Suatu hari dia datang ke majelis Umar secara sembunyi-sembunyi. Dia hanya duduk di bagian paling belakang sambil menundukkan kepada agar sang Khalifah tidak melihatnya. Tiba-tiba Umar memanggilnya dengan suara yang agak keras, “Wahai Polan mari duduk di sampingku.”
Orang tua itu merasa gemetar, dia berfikir dia pasti akan dipermalukan di depan umum. Dia tidak bisa menolak sebagaimana juga dia tidak akan mungkin bisa lari, dengan wajah pucat dia pasrah menghampiri umar sambil menunduk menyembunyikan rupanya. Umar memaksa untuk duduk persis di sampingnya. Kemudian berbisik, “Wahai Polan demi Allah yang telah mengutus Muhammad sebagai seorang Rasul, tidak akan aku beritahu seorang pun tentang apa yang aku lihat di dalam rumahmu, meskipun kepada Abdullah bin Mas’ud yang kala itu ikut ronda bersamaku.”
Kemudian orangtua ini pun menjawab sambil berbisik,”Wahai Amirul Mukminindemi Allah yang telah mengutus Muhammad sebagai seorang Rasul sejak saat itu sampai sekarang aku telah tinggalkan pekerjaan-pekerjaan mungkarku.”
Tiba-tiba Umar bertakbir agak keras tanpa bisa dipahami maksudnya oleh hadirin yang ada disekelilingnya.
Betapa mulia, bijaksana dan luar biasa pribadi seorang pemimpin seperti Umar dan sangat sulit menemukan orang seperti itu di zaman sekarang. Tentang GhibahGuru saya memberi nasehat, “Jangan kau menjelek-jelekkan (menceritakan keburukan) orang lain, belum tentu dirimu lebih baik darinya”. Apabila kita menjaga aib saudara kita maka Allah akan menjaga aib kita dan apabila kita menceritakan aib saudara kita maka Allah juga akan membuka aib kita.
Karena kita bukan manusia yang sempurna, tentu kepribadian kita juga tidak sempurna dan ditengah ketidaksempurnaan itu hendaknya kita menyadari bahwa suatu saat kita juga melakukan kesalahan yang apabila kesalahan atau aib kita itu diceritakan orang lain akan membuat hati kita terluka, karenanya jangan pernah menceritakan keburukan orang lain yang akan membuat dia juga terluka.
Mari kita mulai hidup baru, hidup yang lebih banyak melihat kesalahan diri sendiri sehingga tidak sempat melihat kesalahan orang lain apalagi mencari-cari kesalahan, dengan demikian maka hati kita akan lebih tentram dan damai…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar